Art and form
Neoformalism
Pengabaian total akan
relevansi konten dengan status seni adalah masalah paling mencolok dari
teori-teori seni formalis. Jadi cara yang jelas untuk memperbaiki formalisme
adalah dengan menyediakan akomodasi untuk konten. Neoformalis melakukan ini
dengan menjadikan konten sebagai kondisi yang diperlukan untuk seni. Tapi,
tentu saja, konten saja, bahkan jika itu adalah konten artistik tradisional
(seperti Madonna dan Child), tidak cukup untuk mengamankan status seni; lebih
banyak yang dibutuhkan.
"Bentuk"
dan "konten" adalah dua istilah kunci dalam definisi ini. Tapi apa
sebenarnya artinya? Salah satu cara populer untuk menafsirkan kontras ini
adalah dengan memikirkannya dalam hal analogi antara wadah dan apa yang
dikandungnya. Sampanye tidak memiliki bentuk, kecuali ditempatkan di beberapa
kapal—botol atau gelas. Wadah memberinya bentuk. Demikian pula, bentuk sering
dianggap sebagai wadah yang memberi bentuk pada konten. Konten adalah
barang-barang dari karya seni; bentuk inilah yang memberikan kontur dan
karakternya.
Neoformalisme memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan formalisme. Menurut neoformalisme, kepemilikan bentuk yang secara memuaskan sesuai dengan isinya diperlukan dan cukup untuk status seni. Di mana pun artefak mencocokkan maknanya dengan mode presentasi yang memuaskan, itu adalah seni. Karena ini mengakui bahwa konten dapat relevan dengan status seni, ini menghindari banyak contoh tandingan yang paling merepotkan untuk formalisme. . Bahwa banyak karya seni dimaksudkan untuk melayani tujuan keagamaan, politik, intelektual, emosional dan sosial yang lebih luas tidak menghadirkan kesulitan bagi neoformalis. Karya semacam itu akan dihitung sebagai seni selama tujuan-tujuan itu diartikulasikan dan diwujudkan dalam mode penyajian yang sesuai dengan maknanya.
Neoformalisme juga sensitif terhadap dimensi ekspresif karya seni. Di mana kita mengatakan bahwa lukisan itu hidup atau mengekspresikan keaktifan, neoformalisme menghitung ekspresi keaktifan sebagai isi atau makna lukisan itu — seperti apa itu — dan kemudian bertanya apakah sarana formal lukisan itu — garis, warna, dan pilihan materi pelajarannya — cocok untuk mengartikulasikan properti ekspresif itu. Formalisme, sebaliknya, hanya memperhatikan bentuk struktural dari lukisan semacam itu dan mengabaikan hubungannya dengan meningkatkan kualitas manusia.
Asumsi-asumi neoformalis berkerja didasari pada dua hal: cinematic poetics dan historical poetics. Kedua konsep ini diadopsi kedalam konteks dimana film diproduksi lewat sebuah mode praksis yang akhirnya berpengaruh pada interaksi gaya dan naratif dan berujung pada film secara keseluruhan. Dalam pendekatannya, neoformalis menganggap bahwa ada kesenjangan antara sebuah persepsi film dan semiotik, juga perbedaan antara bentuk alur dan konstruksi cerita. Dua hal yang diabaikan oleh pendekatan terdahulu yang dikalaim sebagai ‘Grand Theory’ seperti semiotika, hermeneutika, psikoanalisa Lacan dan poststrukturalisme.
Pendekatan neoformalis Bordwell dan Thompson paling kentara terbaca lewat buku mereka, Film Art, yang edisinya sudah diperbaharui sebanyak sembilan kali sejak pertama terbit tahun 1977. Thompson menerbitkan Eisenstein’s Ivan the Terrible: A Neoformalist Analysis dan Breaking Glass Armor sebagai manifestasi konkret metode analisis neoformalis terhadap sebuah film atau beberapa film ‘movement’, sementara Bordwell banyak menyoroti tradisi poetic dalam karya-karya Carl Theodor Dreyer dari Denmark serta Yasujiro Ozu dari Jepang. Bersama Thompson dan Janet Steiger, Bordwell menggali historiografi sinema secara detail dalam buku Film History: An Introduction.
Historical poetics/cinematic poetics/neoformalis dan pendekatan film kognitif menghindari pencatutan a priori atas film. Mereka senantiasa menggali bukti baik dari dalam film itu sendiri (unsur yang terkandung dalam gaya penyampaian dan naratif) atau konteks historis dimana film itu dibuat. Lewat pendekatan kognitif, bukti-bukti empiris bisa mengiringi studi sinema menyangkut hubungannya dengan alam pikiran dan respon penonton (seperti emosi, ketegangan, identifikasi dan kenyamanan) selama menonton. Melalui perspektif ini, kita bisa membangun pengetahuan yang lebih sehat, konstruktif, dan berguna mengenai sinema yang hingga kini masih memesona para penontonnya dari semua belahan dunia.
Review:
Orang pertama yang memperkenalkan usaha-usaha neoformalis adalah Victor F. Perkins lewat bukunya Film as Film (1972). Meskipun belum menggunakan label ‘neoformalisme’, Perkins sudah bersikeras dengan pendapat bahwa film harus dikaji tanpa ada kaitan dari disiplin ilmu dan seni yang lain. Ia mencari celah agar kita bisa menganalisa film dari sudut pandang yang paling ontologis. Label ‘neoformalisme’ baru resmi diperkenalkan oleh para ilmuwan film dari Universitas Wisconsin-Madison, seperti David Bordwell dan Kristin Thompson.
Neoformalisme membawa Bordwell dan Thompson menjadi pasangan pemikir film paling subur sepanjang abad ke-20 bahkan hingga hari ini. Tidak berhenti di Neoformalisme, tulisan-tulisan yang dipublikasikan Bordwell khususnya pada tahun 1985 ternyata menjadi tonggak penting lahirnya pendekatan baru, yang kemudian dikenal dengan ‘pendekatan film kognitif’.
Seiring film bercerita, penonton akan melihat berbagai peristiwa dalam plot. Penonton merangkai ulang kejadian tersebut, merunut kembali urutan dan pola relasinya sehingga membentuk keseluruhan cerita (fabula). Namun, karena kegiatan ini berlangsung selama proses menonton, yang artinya film bisa saja berbelok arah kemanapun ia mau, maka penonton juga harus terus menarik kesimpulan. Tak jarang kesimpulan itu salah, diperbaiki kembali, lalu lahir hipotesis baru, meruntuhkan kembali hipotesis, bahkan tak jarang penonton harus membuang kesimpulan yang sudah ada sebelumnya demi mencapai pemahaman atas sebuah film.
Secara keseluruhan, hadirnya pendekatan film kognitif telah berdampak pada banyak hal, terutama perbedaan cara dalam memandang sinema. Hal ini tentu tak terlepas dari disiplin ilmu yang melatari perkembangannya, seperti neurological science, cognitive science, evolutionary biology, evolutionary psychology, dan juga metode kritik neoformalisme sebagai poros konseptual yang paling penting.
sekian, terimakasih.